Jumat, 01 Oktober 2010

TUGAS 2 ARTIKEL (ISD)

NAMA            : NURUL HUMAIRA
KELAS            : 1 KA 31
NPM               : 15110216
MATA KULIAH ILMU SOSIAL DASAR (TUGAS 2 ARTIKEL ISD)

KEMISKINAN DAN ISD

Banyaknya penduduk di kota ini ternyata dapat menyebabkn kemiskinan. Salah satunya jika setiap tahun terdapat banyak lulusan yang tergolong usia kerja maka akan lebih sempit lowongan kerja di suatu kota tersebut.  Semakin sempitnya lowongan untuk bekerja maka semakin banyak tingkat pengangguran. Terlebih lagi Keragaman peluang kerja dikota dengan tingkat upah yang relatif tinggi daripada tingkat upah didesa, menstimulasikan penduduk pedesaan untuk pindah kekota. Tekanan kemiskinan yang absolute menyebabkan penduduk pedesaan harus pergi kekota untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.
Dalam buku Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia, Aris Ananta (2006: 198) menengarai, perdebatan mengenai pendefinisian orang miskin bukan perkara mudah. Menurutnya pendekatan kuantitatif yang lazim dipakai untuk mengukur kemiskinan adalah mendefinisikan kebutuhan minimum untuk kehidupan yang layak. Namun demikian “kehidupan yang layak” juga memerlukan pendefinisian tersendiri. Para sarjana memiliki penjabaran yang beragam untuk istilah ini. Setiap penjabaran mempunyai kekuatan dan kelemahan masing-masing. Biro Pusat Statistik (BPS) misalnya menggunakan pendekatan ekonomi dalam mendefinisikan kemiskinan. Menurut BPS, orang miskin adalah orang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan minimumnya, baik kebutuhan makanan maupun kebutuhan lainnya. Garis kemiskinan makanan adalah jumlah rupiah yang dibutuhkan agar seseorang dapat mengonsumsi 2100 kalori per hari selama sebulan. Rata-rata seorang manusia memerlukan 2100 kalori per hari agar hidup sehat. Sementara itu garis kemiskinan nonmakanan ditentukan berdasarkan perhitungan mengenai kebutuhan dasar seperti perumahan, pakaian, kesehatan, dan transportasi (Ananta, 2006: 198).
Menurut Yuna Farhan, 2006 (sebagaimana dikutip Zada, Kompas, 13 November 2007), kemiskinan merupakan persoalan yang sangat kompleks, tidak semata-mata berhubungan dengan rendahnya pendapatan dan tingkat konsumsi masyarakat, namun berkaitan dengan rendahnya tingkat pendidikan, akses kesehatan, ketidakberdayaan untuk berpartisipasi dalam dalam proses pengambilan keputusan publik, ketidakmampuan menyampaikan aspirasi, serta berbagai masalah yang berkaitan dengan pembangunan manusia.
Persoalan kemiskinan dan keterbelakangan di suatu Negara terjadi tidak saja karena persoalan internal kaum miskin, tetapi juga karena adanya factor-faktor luar yang tidak memungkinkan bagi mereka untuk berkembang lebih baik. Dinegara-negara berkembang –termasuk Indonesia—Masalah mendasar bersifatstructural, dirumuskan sebagai berikut:
1.      Makin memburuknya perbandingan antara luas tanah dengan jumlah penduduk, serta memburuknya bentuk pola atas pemilikan tanah.
2.      Meningkatnya baik jenis penganguran yang terselubung maupun yang terbuka serta berlakunya upah yang rendah. Selain itu, juga meningkatnya jumlah kaum proletariat di kalangan petani.
3.      Semakin kuatnya kekuasaan birokrasi Negara yang bersifat nepotistic dan feudal, serta semakin luasnya korupsi dalam birokrasi.
4.      Membesarnya kekuasaan golonga minoritas termasuk orang asing di bidang ekonomi khususnya di sector perdagangan dan investasi.
5.      Adanya dualisme sosial, ekonomi.
Penyelesaian persoalan kemiskinan di ‘kampung besar’ metropolitan tidak cukup dengan hanya mengharapkan tetesan dari hasil kebijakan ekonomi makro dan progam pembagunan yang hanya bertumpu pada pertumbuhan saja. Trickle down effect sudah tidak lagi di yakini oleh banyak ahli karena terbukti, ketika terjadi suatu pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tingkat kemiskinan yang tinggi tetap menjadi golongan mayoritas dan masih menjadi beban bagi system ekonomi secara keseluruhan. Artinya, pemerintah dan para pelaku ekonomi itu sendiri perlu memperhatikan nasib golongan miskin ini.
Dalam masalah ini diperlukan beberapa pendekatan diantaranya : pendekatan kebutuhan dasar, pendekatan objektif, dan pendekatan subjektif.
Pendekatan kebutuhan dasar, melihat kemiskinan sebagai suatu ketidakmampuan (lack of capabilities) seseorang, keluarga dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan minimum, antara lain pangan, sandang, papan, pelayanan kesehatan, pendidikan, penyediaan air bersih dan sanitasi. Menurut pendekatan pendapatan, kemiskinan disebabkan oleh rendahnya penguasaan asset, dan alat-alat produktif seperti tanah dan lahan pertanian atau perkebunan, sehingga secara langsung mempengaruhi pendapatan seseorang dalam masyarakat. Pendekatan ini, menentukan secara rigid, standard pendapatan seseorang di dalam masyarakat untuk membedakan kelas sosialnya. Pendekatan kemampuan dasar menilai kemiskinan sebagai keterbatasan kemampuan dasar seperti kemampuan membaca dan menulis untuk menjalankan fungsi minimal dalam masyarakat. Keterbatasan kemampuan ini menyebabkan tertutupnya kemungkinan bagi orang miskin terlibat dalam pengambilan keputusan. Pendekatan objektif atau sering juga disebut sebagai pendekatan kesejahteraan(the welfare approach) menekankan pada penilaian normatif dan syarat yang harus dipenuhi agar keluar dari kemiskinan. Pendekatan subjektif menilai kemiskinan berdasarkan pendapat atau pandangan orang miskin sendiri (BPS, UNDP, BAPPENAS, 2001).

Gilbert, Alan., dan Guger, Josef. 1996. Urbanisasi dan kemiskinan di Dunia Ketiga. Yogyakarta: Tiara Wacana
Mulyadi. 2003. Ekonomi Sumber Daya Manusia ”Dalam Perspektif Pembangunan”. Jakarta: Rajawali Pers
Rachbini, Didik J., dan Hamid, Abdul. 1994. Ekonomi Informal Perkotaan. Jakarta: LP3ES
Silalahi, Ulber. 2009. METODE PENELITIAN SOSIAL. Bandung: Refika Editama




Tidak ada komentar:

Posting Komentar